Oleh : Dr. Inyo Yos Fernandez
Percobaan pertama untuk menemukan sejarah bahasa-bahasa dunia secara
ilmiah dilakukan pada akhir abad ke-18. Ilmuwan mulai membandingkan
bahasa dengan cara yang rinci dan sistematis, untuk melihat apakah ada
hubungan di antaranya.
Jika hubungan ini bisa dibuktikan,dapat
diasumsi bahwa bahasa-bahasa itu berhubungan. Dengan kata lain, bahasa
itu dikembangkan dari sumber yang sama,walaupun sumber ini mungkin tidak
ada lagi.
Bukti sumber bahasa yang sama mudah ditemukan di
Eropa. Ada bahasa Perancis, Spanyol, Italia dan bahasa-bahasa Romawi
lain (hlm 301), yang jelas menurun dari bahasa Latin yang dalam kasus
ini diketahui pernah ada. Pemikiran yang sama pernah diaplikasikan
kepada kelompok bahasa yang lebih besar, dan pada awal abad ke-19 ada
bukti yang meyakinkan untuk memperkuat sebuah hipotesis bahwa pernah ada
sebuah bahasa yang merupakan asal banyak bahasa-bahasa Eurasia. Proto
bahasa ini lalu disebutkan bahasa proto-Indo-Eropa (hlm.297). Secara
cepat, kelompok bahasa lain diteliti dengan menggunakan teknik yang
sama.
Metafora utama yang digunakan untuk menjelaskan hubungan
historis adalah language family, atau family tree. Dalam ‘keluarga’
romawi, bahasa Latin merupakan bahasa ‘orang tua’, dan Perancis,
Spanyol.dsb merupakan bahasa-bahasa ‘anak’. Bahasa Perancis lalu dapat
disebut bahasa ‘kakak/adik’ bagi bahasa Spanyol dan yang lainnya.
Pendekatan yang sama juga digunakan untuk kelompok yang lebih besar.Di
dalam keluarga Indo-Eropa, Proto-Indo-European adalah bahasa orang tua,
dan bahasa Latin, Yunani, Sansekerta, dan lain adalah anak. Dalam
keluarga besar diperlu membedakan berapa ‘cabang’. Setiap cabang mungkin
mengandung beberapa bahasa, atau ‘Sub- keluarga’ bahasa.
Cara
bicara seperti ini sebaiknya tidak dipahami terlalu harfiah. Bahasa
‘orang tua’ tidak tetap hidup setelah bahasa ‘anak’ ‘dilahirkan’ dan
bahasa tidak muncul secara tiba-tiba seperti kelahiran manusia. Tidak
betul juga bahwa setelah cabang bahasa mulai ada, bahasa-bahasa ini
berkembang dengan independen dan tidak pernah ada hubungan satu sama
lain. Bahasa-bahasa bisa berkumpul dan menyimpang. Tambahan pula, tahap
perkembangan linguistik tidak sejelas label-labelnya dalam family tree:
tidak ada perubahan yang terjadi lancar dan seragam secara keseluruhan.
Sekarang kita tahu bahwa perubahan linguistik jauh lebih tidak rata,
dengan kelompok sosial yang berbeda menanggapi perubahan dengan cara
yang berbeda (hlm 328 ).
Sejak abad ke-19, istilah klasifikasi
lain mulai digunakan. Keluarga masih digunakan sebagai istilah umum
untuk kelompok bahasa apapun yang kemungkinan berhubungan historis (dan
ini cara istilahnya digunakan dalam ensiklopedi ini). Akan tetapi dalam
klasifikasi lain, perbedaan dibuat tergantung pada seberapa pasti
hubungannya. Jika ada bukti linguistik hubungan dekat, istilah keluarga
tetap digunakan; tetapi jika hubungannya tidak pasti atau lebih jauh,
kelompoknya disebut phylum. Kadang-kadang istilah macro phylum digunakan
untuk kelompok yang lebih umum dan tidak pasti. Jelas, misalnya, bahwa
semua bahasa aborigin dari Australia (hlm. 324) berhubungan, tetapi
karena tidak ada bukti historis yang jelas tentang ini, ilmuwan biasa
menyebutkannya (macro) phylum dan bukan ‘keluarga’ Australia.
METODE KOMPARATIF
Dalam
semua linguistik historis komparatif, metode komparatif merupakan cara
untuk membandingkan bahasa-bahasa secara sistematis untuk membuktikan
hubungan historis di antaranya. Ilmuwan mulai dengan mengidentifikasi
kumpulan kemiripan formal dan perbedaan dalam bahasa-bahasa itu, lalu
mencoba menentukan (atau merekontruksi) tahap lebih awal perkembangan,
yang mungkin merupakan asal derivasi bentuk-bentuk lain. Proses ini
disebut rekontruksi internal, ketika bahasa-bahasa dibuktikan memiliki
leluhur yang sama, bahasa ini dikatakan cognate.
Kasus-kasus
yang paling jelas adalah kasus yang bahasa orang tua diketahui ada.
Contohnya, dengan melihat kata untuk ‘bapak’ dalam bahasa-bahasa Romawi,
dapat dilihat bahwa semuanya diderivakasikan dari kata bahasa latin
pater. Jika bahasa Latin tidak ada lagi, masih mungkin untuk
merekonstruksi sebagian besar bentuknya, membandingkan banyak kata
dengan cara ini.
Cara yang persis sama digunakan untuk kasus di
mana bahasa orang tua tidak ada lagi, seperti ketika bentuk-bentuk dalam
bahasa Latin, Yunani, Sansekerta, Wales, dsb. dibandingkan untuk
merekontruksi bentuk Indo-Eropa, *pәtễr. Tanda bintang dalam linguistik
historis memperlihatkan bahwa bentuk ini merupakan rekonstruksi yang
tidak ada dalam catatan (naskah lama). Bagaimana persis bentuk-bentuk
itu diucapkan masih diperdebatkan. Ada ilmuwan yang memberi fonem-fonem
kepada bentuknya dan mengucapkannya seperti bagian dari bahasa yang
nyata. Ilmuwan lain mengatakan bahwa bentuknya hanya merupakan rumusan
abstrak.
JENIS KLASIFIKASI LINGUISTIK
Ada dua cara utama untuk
mengklasifikasikan bahasa: genetik (atau genealogical), dan
hypological. Dua-duanya digunakan dalam pekerjaan bahasa kontemporer,
tapi klasifikasi genetik diteliti jauh lebih banyak, dan memiliki
prosedur dan kerangka referensi yang jauh lebih maju.
KLASIFIKASI GENETIK
Ini
merupakan klasifikasi historis, berdasarkan pada asumsi bahwa bahasa
bercabang dari ‘nenek moyang’ yang sama. Cara ini menggunakan tulisan
awal yang masih ada, dan jika tidak ada, pikiran dilakukan dengan metode
komparatif supaya bentuk bahasa orang tua dapat direkonstruksi.
Pendekatan ini sudah digunakan secara luas, sejak mulainya pada akir
abad ke-18, dan memberi kerangka yang digunakan untuk semua survei
linguistik seluruh dunia sampai sekarang. Keberhasilan pendekatan ini di
Eurasia, di mana masih ada banyak sekali tulisan awal, tidak
dicerminkan di daerah lain di dunia, di mana klasifikasi pada keluarga
biasannya bersifat sementara.
KLASIFIKASI TIPOLOGIS
Ini
berdasarkan kemiripan formal yang ada di antara bahasa. Klasifikasi
tipologis adalah usaha untuk mengelompokkan bahasa pada tipe struktur,
berdasarkan fonologi, tata bahasa, atau kosa kata, dan bukan pada
hubungan historis yang nyata atau diasumsikan. Contohnya, bahasa dapat
dikelompokkan berdasarkan cara menggunakan bunyi, berapa jenis vokal
yang ada, jika menggunakan ceklik, apakah menggunakan ton, dan
sebagainya. Bahasa juga dapat diklasifikasi berdasarkan apakah urutan
katanya terikat atau bebas, dan urutan mana yang lebih disukai (hlm.
98). Tipologi yang paling awal dilakukan dalam bidang morfologi (hlm.
90). Ini, yang disebut oleh August von Schlegel (1767-1845) serta ahli
lain pada awal abad ke-19, mengakui 3 macam linguistik utama,
berdasarkan pada cara bahasa mendirikan kata-katanya.
Bahasa-bahasa isolatif, analitik, atau akar.
Semua
kata-kata invariabel tidak ada akhiran. Hubungan gramatika
diperlihatkan melalui penggunaan urutan kata. Bahasa Cina, Vietnam, dan
Samoa adalah kasus yang jelas. Contohnya, ‘Saya sudah beli jeruk untuk
makan’ dalam bahasa Cina Beijing adalah
Wô măi júzi chí
(harfiah) saya beli jeruk makan
Bahasa infleksi, sintetis, atau leburan
Hubungan
gramatikal dijelaskan dengan mengubah struktur internal kata – biasanya
dengan penggunaan akhiran berinfleksi (hlm. 90) yang menjelaskan
beberapa makna gramatis pada saat yang sama. Bahasa Latin, Yunani, dan
Arab adalah kasus yang jelas. Contohnya, ahkiran -o pada bahasa latin
Amo ‘saya mencintai’, misalnya- ada untuk setiap kategori orang, jumlah,
tense (kala), suara, dan modus. Bahasa Turki, Finlandia, Jepang dan
Swahili membentuk kata dengan cara ini. ‘Saya mencintai kamu’ dalam
bahasa Swahili adalah mimi ninakupenda wewe, yang dapat dianalisis
sebagai:
Mimi ni- na -ku - penda - wewe
Saya saya (present tense) kamu mencintai kamu
Bahasa polisintetis atau inkorporatif
Kata-kata
ini biasannya sangat panjang dan kompleks, mengandung campuran fitur
aglutinasi dan infleksi, seperti dalam bahasa-bahasa Eskimo, Mohawk, dan
bahasa-bahasa Australia. Contohnya bahasa Aborigin Tiwi mengatakan
‘saya terus makan’ seperti ngirruunthingapukani, yang dianalisis
sebagai:
Ngi- rru- unthing - apu - kani
Saya (past tense) untuk saat yang cukup lama makan berulang-²
Meskipun demikian, ada ahli bahasa yang tidak melihat ini sebagai kategori tipologis tersendiri.
MASALAH KLASIFIKASI
Sekarang,
pertanyaan tipologis sangat menarik- khususnya dalam kaitannya dengan
pencarian kebahasaan semesta. Akan tetapi, beberapa dari klasifikasi
awal dicela habis-habisan karena cara klasifikasi ini diinterpretasi.
Tidak ada ilmuwan sekarang yang akan mengikuti kebiasaan tipologi awal
(yang dipengaruhi oleh Darwin), mengevaluasi bahasa seperti titik dalam
skala evolusioner, dan mengatakan, misalnya, bahwa bahasa-bahasa isolasi
tidak berkembang sejauh bahasa-bahasa infleksi. Tidak ada bukti juga
bahwa bahasa jenis tertentu pasti berhubungan dengan daerah geografis
tertentu, atau dengan orang dari kelompok budaya atau etnis tertentu.
Harus dimengerti juga bahwa tidak ada contoh ‘murni’ jenis-jenis
klasifikasi yang disebutkan di atas. Bahasa memiliki karakteristik ini
dengan tingkat yang berbeda.
Dengan demikian, apakah klasifikasi
tipologis mungkin? Semuanya tergantung pada bagaimana kita mengevaluasi
variabel- variabel yang memberikan basis untuk klasifikasi. Morfologi
hanya merupakan salah satu variabel. Ketika kita mempertimbangkan semua
fitur bahasa- sintaks, fonologi, wacana, dan penggunaan bahasa- sifat
masalahnya menjadi jelas. Ada banyak kemungkinan klasifikasi, dan
bagaimana kita dapat menentukan kriteria mana yang paling penting? Jika
dua bahasa mirip 90% dalam fonologinya, dan 50% dalam tata bahasanya,
apakah lebih dekat atau jauh hubungannya dibandingkan dengan dua bahasa
yang mirip 50% dalam fonologinya, dan 90% dalam tata bahasanya? Teori
linguistik hampir belum mulai menjawab pertanyaan seperti ini.
Baik
klasifikasi tipologi maupun genetik mengabaikan relevansi hubungan
kultural antar bahasa- kenyataannya adalah bahwa bahasa saling
mempengaruhi melalui hubungannya, seperti peminjaman kata satu sama
lain. Kadang-kadang bahasa yang tidak ada hubungan historis dapat
berkumpul supaya kelihatannya merupakan anggota dari keluarga yang sama.
Sebaliknya, bahasa yang berhubungan dapat dipengaruhi oleh bahasa lain
begitu banyak sehingga perbedaannya lebih menonjol daripada kesamaannya.
Peran hubungan budaya merupakan kesalahan nyata ketika meneliti banyak
keluarga bahasa, karena tidak jelas apakah dua bahasa mirip karena ada
asal mula yang sama, ataukah karena meminjamkan satu sama lain (hlm.
330).
Ada ahli bahasa yang mencoba menjahui klasifikasi pada
jenis-jenis umum, dan mengusulkan untuk menggolongkan bahasa berdasarkan
ukuran struktural masing-masing. Satu ukuran mungkin bisa jumlah morfem
(hlm. 90) per kata dalam suatu bahasa (sebuah ‘indeks sintesis’). Dalam
kalimat ‘The boys saw the girl’ (laki-laki melihat perempuan) ada 5
kata tetapi 8 morfem, yang menyebabkan indeks sintesis 1.6. Dengan
menggunakan ukuran ini, menurut satu penelitian, bahasa Inggris
rata-rata 1.68, dibanding dengan 1.06 untuk bahasa Annamesa, dan 3.72
untuk bahasa Eskimo. Ada beberapa perbandingan gramatikal lain yang
dapat diteliti dengan cara ini.